*Cerita fiksi, tapi ada kesamaan nama dan peristiwa yg gue sengaja. Terinspirasi dari kehidupan gue.
Indah Pada
Waktunya
Minggu, 23 Desember 2012
Hari
ini 23 Desember 2012. Seperti biasa, aku pergi ke Gereja untuk mengikuti Misa,
kata yang layak digunakan umat Katolik menyebut “ibadah”.
Tepat
di deretan bangku ketiga dari belakang, ia duduk. Ya, yang ku maksud adalah
seorang wanita yang aku kagumi. Dialah alasan mengapa aku lebih dan selalu
memilih pergi pada jam sembilan pagi. Cantik dengan senyum yang indah dan
selalu datang sendiri. Itulah yang menjadi “misteri” bagiku. Entahlah. Toh, aku ikut Misa karena Tuhan dan
bukan dia.
Deretan
depan sampai tengah sudah terisi penuh. Maklum, itu adalah dua hari menjelang
Natal. Jadi, orang lebih antusias datang. Ya sudah. Aku lalu duduk di deretan
ketiga dari belakang dan kebetulan, duduk di samping kirinya.
“Permisi,”
kataku pelan. Ia hanya tersenyum padaku. Seketika, jadi salah tingkah
karenanya.
Kulanjutkan
berdoa sebentar, kemudian aku mulai berani membuka percakapan.
“Sendirian?”
“Iya,
kau sendiri?” katanya membalas pertanyaanku.
“Hmm,
iya. Boleh kenalan? Namaku Arief” tanyaku dengan sedikit gugup. “Boleh, namaku
Siska,” jawabnya pelan dengan senyumnya yang khas.
“Kelas
berapa?”
“Kelas
sebelas. Kau juga?” tanya Siska sambil menerka. “Iya,” jawabku. Sungguh, aku
dibuat kikuk olehnya. Seumur hidupku,
belum pernah aku seperti ini. Buyar konsentrasi ku, ketika melihat wajahnya
yang melankolis dan menbuat tenang itu.
“Teng!”
bunyi lonceng penanda Misa dimulai terdengar. “Ini di Gereja! Masa aku hanya terus berpikir tentang
dia?” batinku dalam hati. Dan memang benar, seharusnya aku lebih khusyuk
mengikutinya.
Menit
demi menit berlalu dan sampai pada bagian ketika kita dapat berdoa sesuai ujud
masing-masing di dalam hati. Aku berdoa, “Tuhan, semoga di akhir tahun ini, aku
dapat merasakan jawaban atas semua doa-doaku.” Kemudian, Romo melanjutkan Misa
lagi.
Setelah
selesai Misa, aku berinisiatif meminta nomor handphone-nya. Kemudian, Siska menyebut nomornya dan aku
mencatatnya di handphone-ku. “Makasih, ya? Hmm, ngomong-ngomong, Malam Natal datang dengan siapa?” “Ya, mudah-mudahan
sih sama ibu ku,” dia jawab
pertanyaan ku.
“Ya
sudah. Kalau begitu sampai jumpa lagi ya?” aku berkata sambil menjauh ingin
pulang.
“Ya!”
Siska melambaikan tangan pada ku.
Sepulangnya
aku dari Gereja, aku menceritakan pengalaman ku itu pada ibu ku. “Ma, masih
ingat dengan wanita yang aku ceritakan belakangan ini?” tanyaku memastikan.
“Masih,
memangnya ada apa?”
“Aku
tadi berkenalan dengannya. Namanya Siska. Dia juga masih kelas sebelas, sama
seperti aku. Lalu, aku meminta nomor handphone-nya.”
“Lalu?
Apa sesuai dengan harapan mu?” tanya ibu ku sambil lebih mendekat pada ku.
Sepertinya, beliau ingin tahu kelanjutannya.
“Ya,
Ma. Dia wanita yang aku impikan. Dia mirip seperti Mama sewaktu masih remaja.
Mungkin jodoh ya? Hahaha!” tawaku seraya berlalu ke kamar untuk berganti baju.
“Ya
sudah. Sekarang siapkan saja keperluan sekolahmu besok,” perintah ibu padaku.
Begitulah,
aku di hari Minggu. Berdua saja dengan ibu. Ayah jarang pulang di hari Minggu.
Aneh memang. Beliau bekerja di saat orang sedang berlibur. Kemudian, kedua
kakak ku sudah berkeluarga semua. Kakak pertama tinggal di Solo dan sudah
mempunyai satu anak, sedangkan kakak kedua tinggal tak jauh dari rumah ku dan
belum dikaruniai anak.
Bicara
tentang agama, keluarga kami beragam. Ayah dan kedua kakak ku beragama Islam.
Aku dan ibu beragama Katolik. Memang, kalau dilihat dari garis keluarga,
rata-rata keluarga ayah adalah Muslim dan keluarga ibu adalah Nasrani. Tapi, di
saat perayaan hari besar agama kami masing-masing, kami selalu ikut.
Termasuk
Natal tahun ini. Tidak seperti Natal biasanya, semua keluarga ibu datang ke
Tangerang, walau tidak semua datang.
Senin, 24 Desember 2012
Ada
yang berbeda pada kebiasaan ku. Sejak aku melihat Siska di Gereja tujuh bulan
yang lalu, aku mulai mengubah sikap ku perlahan. Ku biasakan berdoa di setiap
waktu senggang dan sebelum memulai sessuatu karena aku jarang melakukannya. Aku
melakukannya karena aku yakin, kegiatan yang positif dapat menjadikan “rezeki”
kita bertambah.
Aku
teringat pada nomor handphone Siska
yang ku simpan. Iseng-iseng, aku SMS
dia.
“Hai,
Sis! Gimana kabar mu? Nanti malam
jadi pergi dengan keluarga mu?”
“Tidak. Ayah-ibu ku ternyata masih
bekerja sampai Natal besok. Mereka tak libur. Adik ku juga sedang pergi wisata
dan merayakan Misa di tempat wisatanya.”
“Hmm,
kalau begitu, pergi dengan siapa kamu?”
“Sepertinya datang dengan teman ku.
Maria, namanya.”
“Hah?
Maria?”
Ternyata,
Siska adalah teman rumahnya Maria di Tangerang. Maria adalah teman ku ketika
SD. Dan yang ku tahu, ia melanjutkan SMA di Yogyakarta. Kata Siska, Maria ke
Tangerang untuk liburan dan merayakan Natal bersama keluarganya.
“Bagaimana
kalau besok aku tunggu kamu dan Maria? Kita bisa duduk bertiga, bukan? Aku
sudah lama tak bertemu.”
“Oke kalau begitu. Aku tunggu kamu di
tempat kita kenalan ya?”
“Oke
deh!”
Entah
mengapa, saat aku dan dia ber-SMS, rasanya seperti teman atau bahkan, pacar,
yang sudah lama tidak berjumpa. Kami serasa sudah akrab dan tidak ada batasan
lagi. Dan aku juga belum pernah merasa seperti ini, bahkan dengan calon pacar
ku sebelum-sebelumnya.
Malamnya,
aku dan ibu ku pergi ke Gereja untuk merayakan Misa Malam Natal. Sampai di
sana, aku sudah meminta izin ibu untuk berpisah dengannya. Ibu di luar gedung
Gereja karena kaki ibu sudah tak sanggup menaiki tangga dan aku ke dalam gedung
untuk bertemu dengan Siska dan Maria.
Dari
kejauhan, sudah tampak mereka berdua. Lalu, ku sapa Maria dahulu. “Maria?”
tanyaku pada seorang wanita di samping Siska.
“Arief,
ya? Iya, betul. Sudah ku tunggu dari tadi, kamu baru datang”
“Bareng
Siska, ‘kan?” tanyaku. “Iya, dia ini
teman sepermainan ku di sini. Keluarganya tak bisa menemani dia, jadi aku dengan senang hati menemaninya. Kamu
tumben sendiri? Biasanya dengan ibu
mu,” Maria menjelaskan penjang lebar.
“Ibu
di bawah. Lagipula, aku sudah izin pada ibu dan sudah janjian, eh, maksudnya sudah beri tahu Siska
kalau kita duduk di sini,” jelas ku sambil salah tingkah dan Siska sepertinya
juga malu karena ku.
Dalam
Misa, aku khusyuk mengikutinya. Aku harap semua impian ku bisa dijawab Tuhan
hari ini, atau setidaknya, secepatnya. Egois memang, tapi itu terserah Tuhan.
Mau dijawab atau tidak, tak masalah bagi ku.
Aku
duduk di sebelah kanan Siska, Maria ada di sebelah kirinya. Terkadang, secara
tak sengaja, tangan ku dan tangan Siska bersentuhan. Bahkan, duduk kami pun
makin dekat. Entah apa yang membuat kami berdua diam saja dan tetap khidmat.
Misa
selesai dengan meriah. Kami bertiga beserta seluruh umat yang ada juga merasa
bahagia. Terlihat dari wajah mereka yang berseri dan ceria. Aku pun berpamitan
pada Maria dan Siska.
“Sudah
dulu, ya? Kasihan ibu di luar.” Maria balas menjawab, “Ya! Hati-hati. Sampai
bertemu lagi!”
“Terima
kasih, Mar!” balas ku pada ucapannya. “Sis, kapan-kapan kita ketemu lagi, ya?”
kata ku sambil memajukan tangan, tanda bersalaman. Siska menyambut tangan ku
dan kami bersalaman. Dia tampak malu pada ku.
Komentar
Posting Komentar