Ini chapter 4. Sorry kalo bahasanya agak acak-acakan, maklum gue lagi blank mau ngelanjutin alurnya kayak gimana. -_-v
Chapter 4: Dunia Ini Memang Sempit
Rabu, 26 Desember 2012
Sehari
setelah Natal, masih banyak saudara dari ibuku yang datang dari Jogja. Suasana
Natal kental di rumah kami. Meskipun ayah masih belum pulang dari kantornya
sejak kemarin malam. Mungkin masih mengawasi keadaan kantor, itulah pikiranku.
Aku
jadi teringat mimpiku beberapa hari yang lalu itu. Apa maksud wanita itu?
Apakah sifatku ini masih banyak yang harus diperbaiki? Pertanyaan batinku itu
menjadikan aku ingat pada perbuatanku selama ini. Aku memang seorang yang ceplas-ceplos. Apa yang ada di pikiranku
langsung kukatakan. Memang ada satu orang yang jadi bahan “ejekan” untukku.
Namanya, Midah. Dia seorang wanita yang bertubuh mungil dan pendek. Dia kukenal
saat aku masuk kelas sebelas. Ia sering kuejek dengan berbagai sebutan. Malah,
sebelum hari libur ini, aku hampir buat dia menangis.
Ada
lagi yang namanya Dahlia. Aku kenal dia waktu kelas sepuluh dan sekarng sudah
berbeda kelas. Dulu aku sempat cari perhatian dengannya, namun makin lama, aku
lebih sering bully dia.
Sesaat,
aku dikejutkan oleh getaran handphone
di saku celanaku. Ternyata Siska mengirim SMS.
Isinya, “Rif, hari ini kamu ada acara
tidak? Aku mau ajak kamu jalan. Orang tuaku masih belum di rumah.”
Kemudian
kubalas, “Ya sudah. Aku jemput di
rumahmu ya?”
Segera,
ia mengirim alamat rumahnya dan aku pergi dengan mobil ayah yang tidak
dipakainya itu. Sampai di rumahnya Siska, aku sudah melihat dia berpakaian rapi
dengan rambutnya yang dibiarkan tergerai.
“Kita
jalan berdua saja? Atau, kamu mau ajak temanmu?” tanyaku padanya.
“Sepertinya,
aku mau ajak teman-temanku. Cuma tiga orang koq,
Rif,” ujar Siska.
“Ya
sudah, ayo!”
Sampai
di rumah teman pertama Siska, sudah tampak sesosok pria sebaya dengan kami.
Setelah kutelaah, ternyata dia Ahmad, teman baikku waktu kelas sepuluh.
“Mad,
masuk! Kukenalkan pada teman baruku,” ajak Siska supaya masuk mobilku.
“Mad,
ini...”
“Arief,
‘kan? Dia ini temanku juga, Sis.
Kalian kenal di mana?” tanya Ahmad pada kami.
“Kenal
di Gereja, Mad. Wah, ternyata kalian juga berteman ya?” seruku.
Ya.
Ternyata, Ahmad adalah teman satu komplek Siska waktu ia masih di Cikupa. Ahmad
pernah bercerita padaku, kalau ia punya teman wanita beragama Katolik sama sepertiku.
Namun, temannya itu pindah. Dan dia adalah Siska.
Begitu
pula dengan dua teman Siska yang lainnya. Ternyata, mereka juga adalah temanku.
Dahlia adalah teman Siska ketika masih tinggal di Kota Bumi, sedangkan Midah
adalah teman Siska ketika masih tinggal di Kelapa Dua.
Di
dalam mobil, kami bersenda gurau dengan penuh tawa. Di sampingku ada Siska. Di
belakang ada Ahmad, Dahlia, dan Midah. Kulihat dari kaca spion yang ada di
depanku, wajah cantik Dahlia yang pernah kutaksir dulu. Dulu aku suka dia, tapi
setelah kupikir dengan baik, aku yakin bahwa aku tidak akan bahagia dengannya.
Dia adalah wanita yang hanya melihat fisik dan isi dompet para lelaki yang ia
suka. Masalah moral atau sejenisnya, tidak pernah ia hiraukan.
Perasaanku,
Siska sedang melihat tingkah anehku yang melihat Dahlia dari kaca spion. Siska
tampak kesal dengan tingkahku. Seketika, aku lihat muka Siska yang lebih suram.
“Kenapa
kamu? Cemburu?” tanyaku.
“Menurutmu?”
jawab Siska malas.
“Maaf,
Sis. Jangan cemberut lagi ya?”
“Iya,
Rif.”
Dalam
hati, aku berpikir. Memangnya kapan aku meresmikan hubunganku dengan Siska
sebagai pacar? Kalau begitu, mengapa ia cemburu begitu? Entahlah. Aku pun
bingung dengan jawaban pertanyaan-pertanyaanku itu.
Kami
sampai di Summarecon Mall Serpong. Setelah kuparkir kendaraan, kami berlima
berjalan menuju dalam mal dan mencari food
court untuk makan siang terlebih dulu. Lalu, kami mengunjungi toko buku di
mal itu.
Sepanjang
hari itu, kami berlima sangat menikmati hari kami. Benar kata pepatah yang
mengatakan kalau dunia ini sempit. Dari satu orang yang baru kukenal, ternyata
ia adalah teman dari temanku. Sungguh luar biasa pertemuan yang terjadi hari
ini.
Komentar
Posting Komentar