Langsung ke konten utama

Indah Pada Waktunya (bag. 4)

Ini sambungan cerita gue yang ke-4. Cukup panjang dan mungkin lebih ke realistis. Kejadiannya sama persis, hanya namanya yang gue ubah. B-)

Chapter 5: Berubah 90o
Selasa, 18 September 2012
Tugas Fisika yang beberapa hari lalu kukerjakan ternyata kurang tepat. Pak Kardi bilang kalau perhitungan kelompok kami ada yang salah. Jadi, kami mengulangi pekerjaan itu lagi. Kali ini di rumahku.
Wita dengan dibonceng Fajar, kemudian aku, Ratna, dan Yanti naik angkutan umum. Yang sampai duluan di rumahku adalah aku dan teman-temanku yang naik angkutan umum. “Aku ganti baju dulu ya?” izinku pada mereka berdua.
Setelah berganti baju, aku menemui mereka lagi, duduk dan selanjutnya termenung. Aku masih ingat curhatan Ratna di rumah Fajar beberapa waktu sebelumnya. Aku berpikir, apa aku masih punya kesempatan untuk mendapatkan Ratna? Aku tahu, kemungkinan itu sangat kecil. Sejenak aku berpikir tentang kans itu.
Lamunanku buyar ketika motor Fajar masuk ke halaman rumahku.
“Mana Wita?” tanya Yanti pada Fajar.
“Dia tidak ikut. Saat aku sedang ke sini dan membawa Wita, ibu Wita menelepon dia. Ternyata, bapaknya Wita masuk rumah sakit. Katanya sih sakit jantungnya kambuh lagi. Jadi, terpaksa Wita tidak ikut kerja kelompok di sini,” jelas Fajar panjang lebar.
“Ya sudah. Langsung saja kita kerjakan,” perintahku pada mereka semua.
Kurang lebih satu jam, kami kerjakan tugas itu. Aku tidak berkonsentrasi penuh saat menghitung pengamatannya. Masih terombang-ambing pikiranku. Banyak pikiran yang aku bayangkan. Tugas, PR, ulangan, teman, dan tentunya nasib aku dalam mendapatkan pacar. Untuk yang terakhir, memang tidak terlalu aku pikirkan. Namun, selalu terbayang ketika aku tidak punya plan ke depan.
“Kita foto-foto, yuk?” ajak Ratna pada kami semua.
“Boleh juga! Ayo! Mumpung ada kesempatan. Buat kenang-kenangan kita juga kalau sudah dewasa,” Fajar menyambut ajakan Ratna itu.
Jadilah kami berempat berfoto, mengabadikan kejadian-kejadian yang terjadi. Perasaanku bergejolak lagi ketika berfoto dekat dengan Ratna. Ingin rasanya aku bisa menggenggam tangannya atau mungkin merangkulnya penuh dengan kasih sayang. Tapi, aku tak berani seperti itu. Walau mungkin aku bisa saja melakukannya, namun aku bukan orang seperti itu.
“Sudah sore, nih. Bagaimana kalau kita pulang? Aku masih ada les sebentar lagi,” ucap Yanti pada yang lain.
“Ya sudah. Aku antar Yanti pulang dulu, ya? Setelah itu, baru aku antar kamu,” kata Fajar pada Ratna. “Mau tidak?”
“Baiklah. Jangan lama-lama, Jar!” ujar Ratna pada Fajar dengan sedikit memerintah.
Tak terasa, sudah sepuluh menit Fajar pergi mengantar Yanti pulang. Tinggal aku dan Ratna ada di teras rumahku. Tadi, saat sedang mengerjakan tugas, kembali lagi membicarakan pacar. Namun, kali ini, mereka lebih ingin tahu kehidupanku tentang mendapatkan pacar. Aku tidak mau membuka rahasia bahwa aku menaruh perasaan pada Ratna.
“Rif, siapa sih yang kamu suka? Ada di kelas kita atau tidak?” tanya Ratna padaku dengan nada penasaran.
“Tidak, ah. Aku tidak mau cerita padamu. Kamu ‘kan sudah tahu kalau aku pernah suka sama Putri. Ya sudah. Begitu saja.”
“Bohong! Ayolah, jujur saja. Aku tidak akan beritahu siapapun.”
Dalam hatiku ada perang batin. Antara beritahu dia langsung kalau aku suka dia atau tidak memberitahunya.
“Ya sudah. Tapi, jangan beritahu siapapun! Jangan kaget atau tertawa kalau nanti kamu tahu! Janji?”
“Janji!”
“Pak Robi pernah bilang kalau kamu mirip Putri, betul? Kemudian, aku juga pernah suka sama Putri pula, bukan? Menurutmu, kesimpulannya apa?”
“Ribet kamu, Rif! Langsung saja, to the point!”
“Putri mirip kamu. Jadi, aku juga suka sama kamu.”
DEG! Seketika, suasana berubah. Tidak lagi riang, melainkan canggung terhadap masing-masing. Apa aku berbuat yang salah? Namun, Ratna malah tertawa tidak percaya. Aneh memang. Tapi, aku bisa lihat raut mukanya yang shock itu.

Sabtu, 22 September 2012
Empat hari berlalu setelah kejadian memalukan itu. Empat hari pula tingkah laku Ratna padaku berubah drastis. Tidak pernah menyapaku lagi. Dan tidak pernah memanggil namaku dengan nada khasnya itu lagi. Kalau pun menegurku, dia tak seceria sebelumnya.
Hari Sabtu biasanya aku sambut dengan perasaan gembira. Hari yang menjadi akhir dari kumpulan hari selama seminggu. Namun tidak hari ini. Aku disajikan banyak tugas. Biologi, Matematika, dan Kimia. Tiga pelajaran itu ada hari ini dan semuanya punya tugas masing-masing.
“Ma, doakan aku ya? Nanti aku ulangan Biologi.” ucapku pada ibu.
“Iya, tidak kau minta pun, ibu selalu berdoa untukmu. Hati-hati, ya?” kata ibu padaku.
“Iya Ma,” balasku sambil mencium tangan ibu.
Sampai di sekolah, aku teringat rencanaku untuk melihat PR Matematika dan Kimia milik temanku. “Feb, lihat PR-mu ya? Ada yang belum kukerjakan,” izinku pada Febri. Febri adalah teman baruku yang sangat periang dan juga seorang anggota OSIS di sekolah.
“Ini, Rif.”
“Terima kasih.”
Setengah mengerjakan, aku tanya padanya, “Ini semua kamu kerjakan sendiri?”
“Tidak. Aku juga melihat jawabannya Yanti. Dia kemarin les dan bertanya pada gurunya,”
Yanti sudah berubah menjadi orang yang lebih baik lagi. Tidak lagi bodoh dan justru bisa mengerjakan PR yang relatif sulit dan tidak dimengerti.
Mungkin berkat doa ibuku atau memang berkat Tuhan, kelas kami tidak mengalami apa yang aku perkirakan sebelumnya. Ulangan Biologi diundur, Matematika tidak belajar, dan guru Kimia tidak datang mengajar. Puji Tuhan. Alhamdullillah. Itulah kata yang pantas untuk menggambarkan rasa syukur aku dan teman-teman sekelas.
Pulang sekolah, aku seperti biasa berkumpul bersama teman akrabku dari kelas sepuluh. Ahmad, Nita, Dahlia, Irfan, Dwita, dan Fira. Tapi, aku hanya bertemu Ahmad, Nita, dan Irfan.
Ahamd dan Nita adalah pasangan yang sudah hampir setahun berpacaran. Ada campur tanganku di dalamnya. Aku membantu Ahmad untuk melakukan pendekatan padaku. Dan kalau bisa dibilang, berkatkulah mereka bisa menjadi satu pasangan yang serasi.
Sedangkan Irfan adalah temanku yang cukup berada. Dia punya “segalanya”. Laptop, kamera mahal, iPad, handphone Blackberry, dan masih banyak lagi. Terkecuali urusan pacar. Ia bernasib sama denganku. Di kelas sepuluh kemarin, ia pernah suka dengan Dahlia. Namun, Irfan tak pernah bilang suka padanya langsung.
“Rif, tahu tidak? Ada wanita yang sering memanggilku dengan sebutan sayang. Padahal, aku dan wanita itu belum ada ikatan apa-apa,” cerita Irfan padaku sambil kami menuju gerbang sekolah untuk pulang.
“Wah, hebat kau! Kau jadikan saja dia pacar. Aku dukung,” kataku semangat.
“Tidak dulu sepertinya. Aku lebih nyaman berteman. Ya, kalau mungkin teman tapi mesra. Hahaha.”
“Bisa saja kau, Fan!”
Sampai di pinggir jalan, aku berhentikan angkutan umum. Aku duduk di depan, sebelah sopir. Di perjalanan pulang aku berpikir dan merenung kembali dalam hati.
Semua sudah berubah ternyata. Tidak dalam waktu yang lama, namun dalam waktu yang singkat. Orang yang selama ini aku remehkan ternyata bisa lebih unggul dariku. Namun, ini bukanlah perubahan 180o tapi hanya 90o kalau menurutku. Tidak sepenuhnya berubah drastis. Semua masih bisa lebih berubah, lebih sangat baik atau sangat buruk.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SQUAD AYAK-AYAK (Part 1)

Gambar yang pertama kali lu lihat setelah judul di atas bukanlah gambar nyamuk (Famili: Culicidae) yang lagi bertelor di atas air. Sebagian orang mungkin mengenal serangga ini dengan nama "AYAK-AYAK" atau dalam bahasa ilmiahnya  Gerris sp. Jujur, setelah sekian lama judul blog gue berubah nama, postingan ini merupakan postingan TERILMIAH gue. Walaupun keilmiahan gue cuma di depan situ doang sepertinya. (baca: depan lab) Squad Ayak-Ayak ini sih sebenernya bukan squad yang identik sama tentara, atau nama band (maybe?) atau hal-hal aneh lainnya. Ini tuh cuma grup WeA yang sengaja dibikin dalam rangka kesejahteraan mahasiswa pria Biologi yang hilang arah dalam mendiskusikan hasil praktikumnya. *hopefully, ini ga keberatan bahasanya, cukup badan gue aja yg berat* Kenapa kami (akan gue jelasin di part selanjutnya) milih nama ayak-ayak? Jawabannya hampir berfilosofis dengan perumusan Dasar Negara sih. Pertama, Ayak-ayak itu hewan yang unik. Dia KECIL, tapi bisa bertahan dite

DIIMING-IMINGI GOMBALAN DILAN "KAMU NGGA AKAN KUAT, BIAR AKU SAJA", MILEA KASIH TUGAS AKHIRNYA UNTUK DIKERJAKAN DILAN??! BUCIN TO THE NEXT LEVEL!! (#PERMENeps3)

Gue termasuk orang yang cukup pede dengan apa yang gue kerjain, termasuk skripsi punya gue dulu. Saking pedenya, jarang banget gue nanya ke temen sendiri. Iya. Emang salah kok. Tapi, banyak dari kita, masih suka milih-milih buat nanya skripsi. Bisa jadi karena kita milih si A karena dia sama tema penelitiannya. Atau milih si B karena dia kating/senior yang udah ngelewatin itu semua. Atau bahkan, milih si C karena ada udang dibalik rempeyek. Sambil menyelam, minum air, lalu tenggelem. Sekali dayung, dua tiga rumah keliatan dari jauh. Yup! KARENA MODUS! Gue pribadi ngga nyalahin kalian yang lakuin itu ya. Pun, gue juga lakuin itu. hehehe Inti dari segala inti, core of the core dari apa yang gue pengen bahas adalah seberapa penting sih kita tuker ide atau pendapat sama temen? Ngaruh ngga sama skripsi kita? Ngaruh ngga sama penelitian kita? Batasan kita "bantuin" tuh kayak gimana sih? Daaaan, apa kata dosen ya kalo tau kita dibantu sama temen, bahkan secara harfiah

Relakan Saja...

Curhat lagi..curhat lagi... Beberapa hari ini banyak kejadian yang buat gue sadar, kalo hal-hal yang gue inginkan itu gak selamanya harus terpenuhi. Simpel aja contohnya. Misalnya aja tentang ulangan matematika gue kemaren. Gue udah belajar, berlatih ngerjain soal-soal, terus lagi udah coba ngerjain ulang soal yang pernah dinilai. Emang sih pas ulangan cuma ada 5 soal. Tapi, masalahnya adalah dari kelima soal itu yang gue yakin bener cuma satu nomer. Alhasil, gue dapet nilai jelek. Gak cuma gue, sekelas pun gak ada yang lolos KKM (nilainya 75). Hari sabtu kemaren, gue juga ulangan kimia. Hal yang sama telah gue lakukan. Belajar, ngerjain soal-soal plus nyari tambahan materi di buku lain. Untungnya, dari 35 soal PG, setengahnya bisa gue kerjain dengan ingatan gue yang seadanya. Mudah-mudahan kagak remed deh. Inti dari curhatan gue ini adalah sebagai berikut... Satu cewek ini sebenernya udah pernah suka sama gue dulu, tapi nolak gue karena beda iman. Belakangan ini, gue