Cerita yang akan gue tampilkan ini punya alur campuran. Menceritakan kisah dua orang wanita yang berbeda umur tapi sama pengalamannya. Ini dia..
Chapter 5: Maafkan Semuanya, Tuhan
Senin, 24 September 2012
Aku
bangun seperti biasa. Tepat pukul 05.45 pagi. Segera aku siapkan baju
seragamku. Aku pun masuk kamar mandi dan mulai mandi. Pikiranku entah mengapa
langsung tertuju pada ibu. Ya, ibu yang selalu sendiri di kamarnya ketika akhir
pekan datang. Kasihan ibuku ini. Sejak aku lahir sampai saat ini, kejadian itu
selalu terulang.
Selesai
mandi dan berpakaian seragam, aku lihat ibu sedang terdiam dalam doanya. Entah
apa yang ia doakan. Aku ambil sepatu dan segera memakainya di sebelah ibu.
“Ma,
tadi doa ya? Doanya apa, Ma?”
“Tidak
yang macam-macam, Le. Mama cuma
berdoa buat kamu, ayahmu dan juga kakakmu. Tapi, sepertinya Mama ada rencana
menghabiskan masa tua Mama di Jogja saja. Bersamamu sambil kuliah di sana.”
“Hah?
Maksud Mama? Ayah sama Mbak bagaimana?”
“Ya,
itu ‘kan hanya niatan saja. Toh, kalau itu terjadi, kita serahkan
sama Tuhan saja,” jelas ibu dengan logat Jawanya yang masih kental walaupun
sudah tinggal lama di Tangerang dan dengan sikap lemah lembutnya itu.
“Ya
sudah, Ma. Aku pergi dulu ya? Doakan aku ya?”
“Iya.
Selalu, Le.”
Kemudian
aku naik angkutan umum yang ada. Aku ke sekolah dengan naik angkutan umum.
Keluargaku tidak punya motor, hanya sebuah mobil. Mobil itupun sering dipakai
ayah bekerja.
Aku
masih tidak tahu apa maksud niatan ibu tadi. Dengan rencananya yang ingin
tinggal di Jogja, apakah ibu sudah jenuh di Tangerang?
***
Jogjakarta, 1970
Katrin
pergi menyusuri sungai kecil di dekat rumahnya bersama teman setianya, Ningsih.
Pergi ke sekolah, mereka selalu melakukannya dengan cara ini. Dari SR (Sekolah
Rakyat) sampai SMEA saat ini, mereka berdua selalu berjalan beriringan. Dan
untungnya, mereka berdua selalu berada pada satu sekolah.
“Trin,
kabarmu dengan anak kepala sekolah itu bagaimana?”
“Sopo? Rustono maksudmu?”
“Iya.
Siapa lagi memang? Katanya, dia sudah kirim surat cinta padamu?”
“Iya.
Ini, aku bawa surat balasannya. Dia janji mau datang menemuiku di kantin
sepulang sekolah.”
Begitulah
Katrin. Sering berganti pacar dan sering pula mengakhirinya. Rustono, anak
kepala sekolah Katrin, adalah pria keduapuluh yang ia pacari.
Saat
pulang sekolah, Katrin menunggu di kantin yang sudah hampir sepi. Rustono
terlihat dari jauh dan tampak menuju dirinya.
“Trin,
bagaimana? Apa keputusanmu?”
“Ini.
Baca saja suratku.”
Sesaat
kemudian, Rustono diam. Membaca dalam hati. Tampak raut wajahnya yang sumringah
membaca satu per satu kata yang ada di surat itu.
“Terima
kasih, Trin. Tapi, ada satu permintaan dari bapakku.”
“Apa
itu?”
“Kamu
harus dibaptis beragama Katolik agar sama denganku. Itu kata bapakku.”
Katrin
berpikir sejenak tentang apa yang akan dihadapinya. Memang, selama ini, Katrin
dibesarkan dalam keluarga yang notabene beragama Katolik, walau tidak semuanya.
Dengan penuh kepercayaan diri, Katrin menjawab, “Ya. Aku mau dibaptis, Rus.”
Gereja Kidul Loji, 1971
Tepat
setahun yang lalu, Katrin ikut pelajaran katekumen. Kegiatan yang harus dialami
setiap orang yang mau dibaptis. Hari ini, Katrin akan dibaptis oleh Romo
Scarend. Romo yang datang dari Belgia untuk menjadi misionaris di Indonesia.
“Bagaimana,
Katrin? Kamu sudah siap dibaptis?” tanya Romo Scarend dengan logat bule yang khas itu.
“Siap,
Mo.”
Misa
pembaptisan diikuti lebih dari seratus orang. Jumlah yang banyak untuk ukuran
seorang Romo bule. Dia tidak pernah
membaptis orang sebanyak ini, apalagi semuanya pribumi.
Selesai
Misa, Katrin menemui Rustono yang sedari awal duduk menyaksikan. Di situ juga
ada bapak dan ibu Rustono. Katrin pun akhirnya resmi berpacaran dengannya.
Pacar yang Katrin harap terakhir baginya.
***
Senin, 4 Juni 2012
Hari
ini, Dahlia hampir terlambat masuk sekolah seperti biasanya. Tampaknya, ia agak
berseri-seri dalam raut muka dan potongan rambutnya yang baru itu. Datang
dengan terburu-buru, dia menghampiri Ahmad, Nita, Yani, Irfan, dan aku yang
sudah sedari tadi berkumpul bersama teman-teman sekelas lainnya.
“Bel
sudah bunyi, tuh! Ayo ke lapangan!
Sebentar lagi upacara akan dimulai,” kataku pada yang lainnya.
“Hei!
Tunggu aku, dong!” teriak Dahlia pada
kami.
“Potong
rambut?” tanya Nita, teman sebangku Dahlia.
“Iya.
Bagaimana? Bagus tidak? Kemarin, aku baru saja berkenalan dengan anak kelas 11,
Nit. Sepulang sekolah nanti, ia mau mengajakku ke restoran pizza itu. Makanya, aku potong rambut. Ingin mengubah penampilanku,”
jelas Dahlia pada Nita.
“Halah! Nanti, paling juga kamu putuskan
lagi cowok itu. Iya ‘kan? Aku sudah bisa menebak pikiranmu,”
timpalku seraya mencibir perkataan Dahlia tadi.
“Tidaklah!
Aku yakin, pria ini akan jadi pacarku yang terlama”
“Tidak
yakin aku. Paling-paling, kamu nanti suka dan berpacaran denganku,” balasku
sambil sedikit meledek dia lagi.
Ya,
Dahlia adalah wanita yang sedang aku dekati. Istilah anak gaulnya, lagi dimodusin. Setelah aku bisa mulai
menerima alasan Putri menolakku beberapa bulan yang lalu, aku juga mulai bisa
mendekati wanita lain.
“Apa-apaan
kamu?! Tak sudi aku jadi pacarmu. Kamu sudah hitam, gendut, jelek, pelit lagi,”
ucap Dahlia bersemangat padaku.
“Tapi,
benci bisa jadi suka lho! Bisa saja,
di masa depan, Arief jadi ganteng, atletis, kaya lagi. Tidak yang tahu ini,”
kata Ahmad membelaku.
“Iya.
Betul kata Ahmad. Tak ada yang mustahil untuk Tuhan,” tambah Nita yang juga
pacarnya Ahmad.
“Tetap
saja, aku tidak mau. Lagipula, masih banyak pria yang lebih cocok denganku,”
kata Dahlia sombong.
Memang,
Dahlia sudah beberapa kali berpacaran. Entah apa yang sampai membuatnya senang
berganti-ganti pacar seperti itu.
***
Senin, 24 September 2012
Di
perjalanan pulang dari sekolah, aku teringat cerita masa remaja ibu. Ia sering
berganti pacar. Kemudian, menjadi seorang Katolik sesuai dengan pasangan yang
ia harapkan menjadi pacar terakhirnya. Namun, pada kenyataannya, ibu menikah
dengan ayahku sekarang, Suhendro. Justru ayahlah yang mengikuti agama ibu,
menjadi Katolik.
Aku
mulai membandingkan cerita ibu pada temanku Dahlia. Masih hangat di dalam
pikiranku tentang kebiasaan Dahlia mendekati setiap pria yang tampan dan kaya.
Namun, ia juga sedikit kecewa. Orang yang ia harapkan jadi pacarnya, yang ia
bangga-banggakan waktu itu, hanya menganggapnya sebagai adik. Dahlia merasa
diberi harapan palsu oleh pria itu.
Aku
hanya berdoa. Ibu memang kecewa pada Rustono, namun semoga saja ibu tak benci
pada pria itu. Dan, aku juga tak ingin, Dahlia terus saja berganti-ganti pacar.
Semoga ia dapat “bertobat” dan tak memainkan perasaan pria yang sudah mengenal
dirinya. Maafkan mereka, Tuhan. Amin.
Komentar
Posting Komentar