Gue nyoba nulis cerita lagi. Tokohnya masih sama dari yang "season" 1 cuma ini bener-bener kejadian yang belom pernah terjadi di kehidupan gue. Full rekaan. Seperti biasa, bersambung ceritanya.
Akhir
yang Sungguh Indah
Chapter 1: Ujian Hubungan Kita
1 Januari 2015
Aku
terbangun. Kulihat jam sudah menunjukkan angka 10. Rasa kantuk masih sangat
bisa ku rasakan. Aku tidur setelah ikut acara Tahun Baru di mal yang terkemuka
di Tangerang ini, kira-kira jam 2 pagi. Aku juga masih ingat euforia suasana
jalan dan kota yang sangat ramai, penuh hiasan warna-warni, serta suara
terompet yang membahana itu.
Segera,
aku mengambil handuk kemudian mandi. Mandi selesai, aku pun langsung
berpakaian. Sengaja ku memilih baju yang sering aku pakai ini. Aku ada janji
bertemu Siska di taman kota.
“Pinjam
mobilnya ya, Yah?”
“Ya
sudah. Mau ke mana kamu?” tanya ayah yang sudah lama pensiun dan jarang ke
kantornya lagi itu.
“Taman
kota. Ada janji sama Siska,” jawabku.
“Pulangnya
jangan larut.”
“Ya.”
Langsung aku pergi meninggalkan ayah dan masuk ke dalam mobil.
Tak
terasa, sudah tiga tahun aku dan Siska berpacaran. Hanya karena sering bertemu
di Gereja kemudian berteman dekat, aku bisa mendapatkan hatinya. Aku juga
merasa terberkati dan beruntung. Aku yang baru sekali berpacaran, bisa bertahan
dan langgeng sampai selama ini.
Di
taman, ku lihat Siska tidak sendiri. Dia bersama seorang pria lain. Pria yang
kira-kira seumuran denganku. Dari kejauhan, Siska tampak sedang berpelukan di
dekapan pria itu.
“Siska?”
panggilku sambil tidak percaya tentang apa yang ku lihat ini.
“Arief?!
Ini tak seperti yang kamu bayangkan kok.
Ini cuma...”
“Sudah!
Aku pergi saja!” ucapku ketus padanya. Secepat mungkin, aku berjalan
meninggalkan mereka dan kembali ke mobil.
“Rief!
Tunggu!” seru Siska padaku yang terus saja berjalan.
Aku
tetap tak berpaling. Di dalam mobil, aku langsung tancap gas dan pergi ke Gua
Maria yang ada di Gerejaku. Satu-satunya tempat yang sering aku datangi
akhir-akhir ini jika ingin sendiri. Aku berdoa, “curhat” pada Tuhan tentang
yang tadi kulihat.
Di
dalam keheningan doa, ada suara yang bilang seperti ini, “Bertahanlah. Aku akan
selalu bersamamu.”
Seketika,
terbukalah mataku. Seperti ada hentakan yang mendorong punggungku. Ternyata,
itu teman lamaku. Tian. Lelaki yang dulunya keterbelakangan mental, namun
sekarang dia sudah sembuh.
“Sedang
apa Mas di sini? Ku perhatikan sedari tadi, kamu terus berdoa tanpa bergeming
sedikit pun,” kata Tian yang saat itu belum ku kenali sepenuhnya.
“Maaf,
Mas. Saya pikir, saya baru sebentar berdoa ternyata sudah lama,” jelasku
padanya sambil memperhatikan bentuk fisiknya.
“Tapi,
maaf lagi, Mas. Mas namanya Tian ya? Saya dulu punya teman SD yang mirip sama
Mas ini,” kataku pada pria itu.
“Iya,
benar. Tapi, Mas siapa ya?” dia bertanya padaku.
“Saya
Arief. SD saya di Strada. Mas, eh, kamu juga ‘kan?
“Iya!
Wah, Arief ya?! Sudah lama tak bertemu kita!”
Ternyata
Tian masih ingat aku. Dia sekarang bekerja untuk Tuhan. Melayani para Pastor
yang ada di Gerejaku di kesehariannya. Sebutan lainnya, Koster.
Sudah
3 tahun ia menjadi Koster. Awalnya ia ingin melanjutkan pendidikan ke perguruan
tinggi namun keterbelakangan mentalnya menghalangi niatnya itu. Mengikuti saran
ibunya, ia mendaftar jadi Putra Altar. Tapi, lagi-lagi ia ditolak. Salah satu
Pastor di Gereja mengajak Tian sebagai Koster saja. Ajaib. Enam bulan bekerja,
ia tak lagi “idiot”. Ia pulih dan sembuh seperti orang kebanyakan.
“Ian,
kamu pernah punya pacar?” tanyaku mengalihkan topik.
“Pernah.
Ada apa memang? Jangan-jangan ada hubungannya dengan doamu tadi ya?”
“Iya.
Hubunganku sedang goyah saat ini. Hubungan kami yang sudah tiga tahun berjalan
ini sedang mendapat cobaan. Tadi, aku memergoki pacarku sedang bermesraan
dengan pria lain.”
“Apa
kamu yakin kalau pacarmu itu sedang selingkuh?” tanya Tian mempertegas lagi.
“Yakin!
Dari perangainya saja aku sudah tahu itu,” kataku membara.
“Begini,
Rief. Aku yang ‘seperti ini’ saja masih bisa menerima keadaan yang sudah sangat
pasti. Hatiku bekerja untuk menerima kenyataan. Tapi kamu? Kamu yang sudah
membina hubungan yang romantis selama itu harus berakhir karena sesuatu yang
hanya diyakini oleh matamu saja? Hatimu mana? Gunakan hatimu.”
Setelah
dengar nasihat Tian. Aku kembali menyadari bahwa Siska mustahil untuk seperti
itu. Sebab, baru kali ini ku lihat ia berkelakuan seperti itu. Aku juga salah
karena meninggalkannya tanpa dengar penjelasan dari dia. Di satu sisi, aku
terkesima atas sikap Tian itu. Berbeda 180o dari yang aku tahu.
Rohaninya juga sangat kuat sekarang.
“Terima
kasih, Yan. Kamu memberi bantuan yang sangat berarti untukku.”
“Sama-sama.”
Kembali
ke taman, ku lihat Siska kali ini sendiri. Hari sudah sore. Dia tampak menangis
tersedu-sedu. Hatiku bergetar. Merasa akulah penyebab ia menangis.
“Maafkan
aku, Sis.”
“Sedang
apa kamu di sini? Bukankah tadi kamu marah dan tidak dengar penjelasanku?”
tanya Siska padaku.
“Maafkan
aku, Sis. Aku dikuasai roh jahat tadi. Aku terbakar emosi.”
“Tadi
yang kamu lihat itu bukan selingkuhanku. Dia kakakku yang baru datang dari
Vatikan. Ia baru saja mengalami musibah. Ia kecelakaan dan menyebabkan ia buta.
Aku memeluknya karena aku kasihan dan ingin memberi semangat padanya,” kata
Siska panjang lebar.
“Aku
benar-benar menyesal, Sis. Aku langsung saja menuduhmu. Maafkan aku. Aku tak
mau hubungan kita berakhir karena salah paham begini,” ucapku padanya. Ku
pegang tangannya, kemudian aku melanjutkan perkataanku, “Percayalah padaku.”
Siska
memelukku. Tanda ia telah memaafkan aku. Hubunganku selamat. Terima kasih
Tuhan. Terima kasih Tian.
Komentar
Posting Komentar