Gue ini orangnya gak bisa marah. Sekalinya marah, gue akan semarah-marahnya atau nangis sejadi-jadinya. That's me. Orang yang rela "dibully" demi ngeliat orang lain bisa ketawa dan ngerasa seneng. Ya, mungkin itu juga yang ngebuat gue bercita-cita jadi entertainer. Orang yang dapat ngehibur orang lain. Apapun jenis seni pertunjukkannya gue akan coba lakukan, entah teater, lawak, nyanyi, dan yang lainnya.
Gue pernah "meledak" beberapa kali. Apalagi dulu pas kelas 5 dan 6 SD dulu. Gue yang jadi ketua kelas, harus ngatur 31 murid lainnya. Gue yang terlalu "lembek" dulu, ngebuat temen-temen gak mau diatur. Piket gak mau, selalu berisik, dan masih banyak yang lain. Gue pun sekarang jadi mikir, kenapa dulu gue selembek itu dulu?
Mungkin yang paling pertama adalah gue anak yang paling kuper pada saat itu. Di saat anak-anak yang lain mengenal PS, gue enggak. Di saat anak yang lain udah mulai punya hape, gue belom. Di saat yang lainnya mulai bertumbuh ke atas, gue ke samping (?) Terus lagi, gue "lembek" karena itulah watak gue. Dari TK sampe SD, gue anak yang cengeng. Gak bisa diajak bercanda. Tapi, perlahan-lahan saat gue mulai latah kelas 4, gue mulai bisa untuk gak cengeng lagi. Dari situlah gue mulai yang namanya cinta "monyet". Gue juga mulai kenal yang namanya akting dan teater. Gue juga bisa berkomunikasi dengan baik sama guru. Dan dari kelas 4 itulah, gue mulai bercita-cita jadi aktor.
Beranjak ke SMP, gue mulai bisa bersosialisasi lebih lagi. Apalagi di SMP, anak-anaknya lebih heterogen. Gue juga mulai ngerti akan toleransi antar umat beragama. Dan gue juga harus siap akan pertanyaan-pertanyaan yang akan mereka ajukan ke gue tentang agama gue ini. Di SMP, gue juga lebih bisa mandiri. Gak terlalu ngandelin ortu lagi. Frekuensi nangis gue juga berkurang. Gue malah lebih sering dilatahin.
Pas di SMA inilah gue merasa harus mengubah semua sikap gue. Gue yang dulu waktu SD mikir tentang gue yang SMA akan gimana, udah jadi anak SMA beneran. Gue juga lebih gampang "welcome" dengan perlakuan temen gue yang baru. Kelas 10, gue pernah ngerjain temen gue, atau mungkin sekelas. Jadi waktu itu semua temen gue pada ngelatahin gue dan ngetawain gue. Gue yang terlalu cape dan terlalu lama kesel, akhirnya pura-pura marah. Walaupun sebenernya salah target, tapi aksi ngerjain gue itu tetep berhasil. Dia juga hampir terpancing emosinya. Dari situ juga gue mulai menyadari, marah dan nangis itu gak guna. Marah dan nangis itu justru bermanfaat buat mengasah akting gue.
Dan hari ini, I exploded again. Gue meledak lagi. Kali ini bukan akting, tapi beneran. Gue yang terlalu kesel dan reflek kalo ada orang yang dari belakang megang kaki gue langsung mukul, udah gak tahan lagi. Secara reflek juga, gue pukul kepala temen gue itu. Cukup kenceng. Dan, it was hurt. Langsung gue bilang ke mereka kalau gue ini beneran marah dan gak suka kalo digituin. Pas keluar ruangan, temen gue itu "seolah-olah" gak seneng sama gue, entah bener atau gak. Straightly, I was crying. Malu emang, karena udah gede tapi masih nangis. Tapi, gue juga nyesel tentang yang udah gue buat. Gue langsung minta maaf, dan bilang kalo gue emang gak sengaja dan reflek.
From that moment, I learned. In fact, my heart is still unstabble. Sometimes, I feel very happy. Sometimes, I feel very sad and dissapointed, even angry about all of my life.
Gue bersyukur masih punya Tuhan, ibu, dan blog ini buat ngeluarin "all of my the deepest heart story." Selain pas punya amarah terpendam dan sejenisnya, gue bisa nangis pas denger lagu "Biar Anak-Anak Datang Kepada-Ku." Lagu gereja yang sebenarnya menceritakan sikap Tuhan yang mau welcome dan mau melayani anak-anak. Tapi, saat gue denger lirik lagunya, "Biar anak-anak datang kepada-Ku. Itu sabda Yesus, dia memanggilku. Kini aku datang, Yesus memanggilku." Lirik sederhana yang bisa buat gue nangis. Setiap lagu itu terdengar, gue coba tahan supaya air mata ini gak keluar. I don't know, kenapa itu bisa terjadi.
Gue juga nyoba untuk lebih "nerimo" atas semua yang orang-orang perlakukan ke gue. Tapi, gue akan langsung bilang ke mereka batasan-batasan kalo mau "ngebully" gue. You're kidding, but you must know how far I can't accept that.
Komentar
Posting Komentar