Langsung ke konten utama

Akhir yang Sungguh Indah (bag. 4)


Ini adalah lanjutan cerita gue. Kisah khayalan gue tentang pertemuan pacar masa kecil gue. Cerita ini menjadi awal cerita selanjutnya. Dan, mulai selanjutnya, gue akan fokus pada cerita-cerita gue..

Chapter 4: Bagian Kehidupan yang Lain
2 Januari 2015, 06.00
Aku memang terbiasa bangun pada jam seperti ini. Kebiasaan yang sudah dimulai dari SMP. Rasa kantukku masih sangat terasa. Mimpi tadi malam memang benar-benar luar biasa. Mimpi yang sangat nyata. Mimpi yang sangat berbekas padaku.
Hari ini, aku ada jadwal kuliah. Aku baru saja mengikuti semester dua di fakultas Sastra Inggris. Memang, inilah yang aku harapkan dari dulu. Cita-citaku yang membuat aku sampai pada tahap ini. Aku bertekad, setelah lulus nanti, aku ingin bekerja di kedutaan yang ada di luar negeri.
Aku pergi biasa menggunakan angkutan umum. Aku tak terbiasa pergi kuliah dengan mobilku. Menurutku, jika aku pergi dengan mobil, justru akan membuat Jakarta tambah macet.
Dalam perjalanan di dalam bis kota, aku duduk di samping seorang wanita. Sepanjang perjalanan, aku terfokus pada handphone-ku. Browsing sambil mendengar musik. Namun, pikiranku terbelah dua. Antara handphone dengan wanita di sampingku ini. Ujung mataku tak sengaja menangkap basah dia melihatku dengan tatapan lain. Tampaknya, dia memperhatikan diriku dari ujung rambut sampai ujung kaki.
Jalan yang dilalui macet. Kemudian, kondektur bis menghampiri penumpang untuk meminta ongkos yang harus dibayar.
“Ongkosnya, Mas?”
“Sebentar, Bang,” kataku sambil merogoh saku celanaku dan mengambil uang tiga ribu rupiah. “Ini, Bang.”
“Kurang dua ribu lagi, Mas.”
“Lho?! Biasanya saya bayar tiga ribu, memangnya sudah naik?”
“Iya. Hari ini, MRT sudah ada, Mas. Jadi, kita tambah saingan lah.”
Dalam hati, aku sempat kesal. Aku ingat hanya membawa uang lima puluh ribu plus uang yang tadi aku bayarkan.
“Ada kembalinya gak, Mas?” Sambil aku mengambil uang lima puluh ribuku, sang kondektur bilang,” Wah, Mas. Kita baru narik. Uang yang agak kecilan ada?”
“Biar saya saja, Bang. Ini uangnya,” kata wanita di sampingku.
“Terima kasih, Mbak. Tapi, kenapa Mbak sangat baik terhadap saya?”
“Tak apa, Mas. Tapi, maaf sebelumnya, Mas namanya Arief bukan?”
“Iya. Mbak tahu dari mana?”
“Sepertinya, kita pernah bertemu dulu. Sewaktu SD. Mas tahu Lisa?”
Sejenak, aku berpikir tentang nama itu, “Lisa”. Tampaknya, nama itu tak asing di telingaku. “Saya ingat nama itu. Tapi, sudah lama sekali saya tak bertemu dengan orang itu.”
“Lisa itu saya, Mas. Hmm.. Maksudku, aku Lisa.”
“Hah?! Kamu Lisa?! You’re so different! Kamu beda banget, Lis! Seingatku, dulu itu kamu tomboy?”
“Itu ‘kan dulu, Rif. Seiring perjalanan waktu, aku tambah dewasa dan tahu ‘kodratku’,” seraya kami berdua larut dalam gelak tawa.
Lisa memang sangat berubah penampilannya. Dengan make-up yang tak terlalu tebal namun tetap menambah kecantikannya, ditambah dengan gaya penampilannya yang casual tapi tetap feminim, memang membuatku tak mengenalinya.
Lisa pernah punya tempat istimewa di hatiku. Dia pernah jadi pacar masa kecilku sewaktu kelas enam SD. Memang, dulu aku pernah percaya bahwa cinta pertamaku itu pasti akan datang lagi pada kehidupanku.
“Kamu mau kuliah juga, Lis? Ngambil jurusan apa?”
“Iya. Aku ngambil  FISIP. Kamu sendiri?”
“Aku ngambil Sastra Inggris. Ngomong-ngomong, bagaimana kehidupanmu? Masih suka main voli ‘kan? Hahaha..”
“Masih koq, Rif. Bisa saja kamu. Ya, beginilah aku sekarang. Asal kamu tahu ya, sejak aku SMP, aku makin tidak karuan.”
“Maksudmu?”
“Aku playgirl. Sering berganti pacar. Ingat saat aku dulu suka sama kakak kelas kita yang sekolah di SMP samping SD kita dulu? Nah, waktu aku kelas tujuh, aku pacaran dengannya. Tapi, ternyata dia tak seperti yang kuduga. Dia jauh dari harapanku. Sejak itulah aku sering berganti pacar.”
“Kamu sendiri bagaimana?” tanya Lisa padaku.
“Aku justru makin membaik, Lis. Aku tak seperti yang dulu kamu kenal. Ya, walaupun aku masih gendut. Hahaha..”
“Hahaha.. Masih seperti yang dulu kamu, Rif. Masih suka bercanda. Terus?”
“Aku tidak kuper lagi, tapi juga tak terlalu pintar.”
Masa’ iya?”
Kemudian, aku menceritakan kehidupanku padanya. Mulai dari penolakan oleh banyak wanita, nilai pelajaranku yang makin tidak bisa diprediksi, sampai yang terakhir, aku yang bisa berpacaran dengan Siska.
“Hebat ya kau sekarang. Sekalinya berpacaran, langgeng sampai tiga tahun. Aku sering berpacaran, tapi paling lama Cuma enam bulan,” kata Lisa menyambung ceritaku.
“Sabarlah, Lis. Nanti juga kau akan mendapat yang terbaik. Lalu, bagaimana dengan saudara kembarmu? Siapa namanya?”
“Lita?”
“Iya. Seingatku waktu SD, dia berpacaran dengan Aga. Kabar mereka berdua bagaimana?”
“Lita juga kuliah di kampus yang sama denganku. Kalo Aga, semenjak SMA dia sudah tak terdengar kabarnya. Katanya sih, dia kuliah Teologi. Hahaha..”
“Ah! Bercanda kamu. Dia bukannya ‘nakal’ dulu?”
“Entahlah. Terakhir ketemu waktu reuni SMP, dia bilang begitu.”
Aku jadi teringat reuni, ketika Lisa mengatakan hal tadi.
“Lis, bagaimana kalau kita mengadakan acara reuni masa SD kita? Aku kangen dan tak sabar melihat wajah teman-teman. Mereka berubah atau sama seperti dulu ya?” kataku seraya tertawa.
“Aku setuju! Tapi, ajak guru-guru angkatan kita juga ya?”
“Iyalah, Lis. Nanti kita pikirkan rencana itu. Aku minta nomor handphone-mu ya? Berapa?”
Lisa memberikan nomor handphone-nya, lengkap dengan alamat rumahnya.
Kampusku sudah terlihat dekat. Aku pun segera meneriakkan, “Kiri, Bang!”
Bis pun menepi ke pinggir jalan dekat kampusku. Lisa pun dengan tergesa-gesa ikut turun menyusulku.
“Lho? Kamu ikut turun? Kampusmu mana?”
“Ya ini,” katanya sambil menunjuk kampus besar ini.
“Hahaha.. Lain kali kita janjian saja. Berangkat bareng gitu?”
“Bisa! Bisa diatur itu. Hahaha..”
Kami berdua berjalan berdampingan menuju kampus dan ruangan masing-masing. Aku rindu berjalan berdua dengannya. Aku, yang dulu pernah dekat dengannya, jarang berada di posisi ini. Dan, tak terasa, aku yang sekarang lebih tinggi dari pada dia yang dulu menjadi wanita tertinggi di sekolah. Jujur, perasaanku kini bercampur aduk tak karuan. Aku masih percaya bahwa rasa cintanya masih ada, walaupun hanya seberkas saja. Aku pun sama seperti itu. Namun, aku masih ingat komitmenku dengan Siska. Aku tak mau mengingkari komitmen itu, meskipun ini masih sebatas pacaran.
Entahlah. Aku tak berani memikirkan masa depan nanti...

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SQUAD AYAK-AYAK (Part 1)

Gambar yang pertama kali lu lihat setelah judul di atas bukanlah gambar nyamuk (Famili: Culicidae) yang lagi bertelor di atas air. Sebagian orang mungkin mengenal serangga ini dengan nama "AYAK-AYAK" atau dalam bahasa ilmiahnya  Gerris sp. Jujur, setelah sekian lama judul blog gue berubah nama, postingan ini merupakan postingan TERILMIAH gue. Walaupun keilmiahan gue cuma di depan situ doang sepertinya. (baca: depan lab) Squad Ayak-Ayak ini sih sebenernya bukan squad yang identik sama tentara, atau nama band (maybe?) atau hal-hal aneh lainnya. Ini tuh cuma grup WeA yang sengaja dibikin dalam rangka kesejahteraan mahasiswa pria Biologi yang hilang arah dalam mendiskusikan hasil praktikumnya. *hopefully, ini ga keberatan bahasanya, cukup badan gue aja yg berat* Kenapa kami (akan gue jelasin di part selanjutnya) milih nama ayak-ayak? Jawabannya hampir berfilosofis dengan perumusan Dasar Negara sih. Pertama, Ayak-ayak itu hewan yang unik. Dia KECIL, tapi bisa bertahan dite

DIIMING-IMINGI GOMBALAN DILAN "KAMU NGGA AKAN KUAT, BIAR AKU SAJA", MILEA KASIH TUGAS AKHIRNYA UNTUK DIKERJAKAN DILAN??! BUCIN TO THE NEXT LEVEL!! (#PERMENeps3)

Gue termasuk orang yang cukup pede dengan apa yang gue kerjain, termasuk skripsi punya gue dulu. Saking pedenya, jarang banget gue nanya ke temen sendiri. Iya. Emang salah kok. Tapi, banyak dari kita, masih suka milih-milih buat nanya skripsi. Bisa jadi karena kita milih si A karena dia sama tema penelitiannya. Atau milih si B karena dia kating/senior yang udah ngelewatin itu semua. Atau bahkan, milih si C karena ada udang dibalik rempeyek. Sambil menyelam, minum air, lalu tenggelem. Sekali dayung, dua tiga rumah keliatan dari jauh. Yup! KARENA MODUS! Gue pribadi ngga nyalahin kalian yang lakuin itu ya. Pun, gue juga lakuin itu. hehehe Inti dari segala inti, core of the core dari apa yang gue pengen bahas adalah seberapa penting sih kita tuker ide atau pendapat sama temen? Ngaruh ngga sama skripsi kita? Ngaruh ngga sama penelitian kita? Batasan kita "bantuin" tuh kayak gimana sih? Daaaan, apa kata dosen ya kalo tau kita dibantu sama temen, bahkan secara harfiah

Relakan Saja...

Curhat lagi..curhat lagi... Beberapa hari ini banyak kejadian yang buat gue sadar, kalo hal-hal yang gue inginkan itu gak selamanya harus terpenuhi. Simpel aja contohnya. Misalnya aja tentang ulangan matematika gue kemaren. Gue udah belajar, berlatih ngerjain soal-soal, terus lagi udah coba ngerjain ulang soal yang pernah dinilai. Emang sih pas ulangan cuma ada 5 soal. Tapi, masalahnya adalah dari kelima soal itu yang gue yakin bener cuma satu nomer. Alhasil, gue dapet nilai jelek. Gak cuma gue, sekelas pun gak ada yang lolos KKM (nilainya 75). Hari sabtu kemaren, gue juga ulangan kimia. Hal yang sama telah gue lakukan. Belajar, ngerjain soal-soal plus nyari tambahan materi di buku lain. Untungnya, dari 35 soal PG, setengahnya bisa gue kerjain dengan ingatan gue yang seadanya. Mudah-mudahan kagak remed deh. Inti dari curhatan gue ini adalah sebagai berikut... Satu cewek ini sebenernya udah pernah suka sama gue dulu, tapi nolak gue karena beda iman. Belakangan ini, gue