Kali ini, cerita gue masih ada kaitannya dengan bagian 4. Nah, judul kali ini "Merapikan Nestapa". Bersambung sampai bagian 3. Pokoknya, selama liburan kali ini, gue akan terbitin 2 atau 3 postingan.
By the way, Selamat Hari Natal! Merry Christmas for all! Semoga kedatangan Tuhan Yesus ke dunia bisa membawa kedamaian buat semua orang.. Happy Holiday!! ^_^
Chapter 5: Merapikan Nestapa (1st
Part)
“Hai!”
teriak seorang wanita mirip Lisa.
“Rif,
kita ke sana yuk?” ajak Lisa padaku
menemui wanita tadi.
“Ya
sudah.”
Batinku
rasanya tepat. Dia, yang tadi menyapaku, adalah Lita. Dia mirip sekali dengan
Lisa. Mereka tampak kembar.
“Hai,
Lis! Aku sudah lama menunggumu. Ini siapa?” tanya wanita itu sambil menunjuk
diriku.
“Kau
masih ingat Arief? Teman kita dulu sewaktu SD? Nah, ini dia orangnya!” seru
Lisa menjelaskan.
“Ah!
I see! Masih ingat aku?”
“Lita,
bukan?”
“That’s right! Kau masih sama seperti
dulu ya? Hahaha..”
“Bisa
saja kau, Lit! Seharusnya aku yang bilang itu padamu! Tapi, satu hal yang pasti
dari kalian,” ucapku serius pada mereka.
“Apa
itu?” tanya mereka serempak.
“Kalian
kembar! Hahaha..”
Pecahlah
tawa kami. Aku masih bisa menghibur mereka berdua ternyata.
“Kalau
Lisa ‘kan di FISIP, kalau kamu?”
tanyaku pada Lita.
“Aku
juga sama. Bedanya, aku Public Relation,
Lisa Ilmu Komunikasi.”
“Oh,
begitu. Tapi, sepertinya aku baru melihat kalian hari ini. Benar tidak? Aku
sudah masuk semester dua masalahnya, tapi kalian dari dulu tak kulihat.”
“Maaf,
Rif. Aku lupa menjelaskan. Semester satu yang lalu, kami bukan kuliah di kampus
ini. Kami pindahan. Hari ini, hari ketiga kami,” jelas Lisa padaku.
“Pindah?
Memangnya, kampus kalian yang dulu bagaimana?”
“Tidak
ada apa-apa. That’s our problem. Kamu
tak usah tahu.”
“Come on, Lis! Ceritalah padaku. Aku akan
jaga rahasia.”
“Tidak.
Nanti kamu juga akan tahu sendiri,” ucap Lita padaku.
“Kalau
begitu, aku ke kelas Mr. Bram ya?” seruku pada mereka.
“Sama,
Rif! Aku juga ingin ke kelas dia. Ayo! Hampir terlambat kita!” ajak Lita
padaku.
“Ayo!
Dah, Lisa! Nanti kita ketemu lagi, ya?”
Lisa
menganggukkan kepalanya, tanda setuju padaku.
Aku
dan Lita bergegas berjalan menuju ruang kelas Mr. Bram. Guru ini dikenal baik
namun tegas. Semester lalu, nilaiku pada mata kuliahnya saja bagus. Malah
terbilang sangat bagus.
Tok..tok..tok...
“Come in!” terdengar suara Mr. Bram
lantang.
“Excuse me, Sir. We’re late.” jelasku
pada Mr. Bram.
“Alright. I forgive you. Now, take your seat.”
Saat
aku dan Lita ingin duduk, Mr. Bram menyela,”Wait..Wait!
Are you the new student?” tanya guru itu pada Lita.
“Yes, Sir. I’ve just been three days at this
college. My name is Lita.”
“Oh! Lita? Lita Agustina?”
“Yes, Sir.”
“Oh, I see! Actually, in list attendent,
there is one new student, named Lita Agustina. O.K. Please, take a seat.”
“Thank you, Sir.”
“Wait again! By the way, is he your
boyfriend, Lita?” ucap Mr. Bram pada Lita sambil menunjukku.
“No, Sir. I met him and together, went to
your class.”
Ya.
Itulah perkenalan singkat Lita dengan Mr. Bram. Ternyata, dia baru sekali ini
ikut kelas ini. Sejak dia pindah ke kampusku, ini pengalaman pertama baginya
bertemu dengan Mr. Bram. Aku tergelitik saat Lita dianggap pacarku. Untung, Mr.
Bram sudah kuanggap seperti teman biasa.
10.30
“Kamu
sudah berkeliling kampus ini belum, Lit?” tanyaku pada Lita sambil merapikan
buku ke tasku.
“Belum,
Rif. Ajak Lisa juga tuh!”
“Ayo!”
seruku sambil beranjak berdiri dan keluar dari kelas, diikuti Lita.
Kami
berdua pun berjalan meninggalkan ruang kelas menuju tempat Lisa menunggu.
Sambil berjalan, aku perhatikan Lita. Dia masih sama seperti dulu. Lebih
feminim dari saudara kembarnya, Lisa. Tampak dewasa, apalagi dipadu dengan
pakaian yang menawan.
“Lis!”
teriakku pada Lisa yang sedang serius membaca sebuah buku di depan taman
kampus.
Lisa
melambaikan tangannya pada kami. Aku dan Lita duduk samping Lisa.
“Mumpung kalian baru di sini, aku ingin
ajak kalian untuk melihat-lihat sebentar kampus ini. Bagaimana? Nanti aku ajak
makan di kantin kampus ini yang rasanya enak banget!” kataku membujuk mereka berdua.
“Hmm..
Bolehlah. Aku belum terlalu hafal daerah sini,” kata Lisa padaku. “Aku yakin, Lita
juga mau ikut. Betul ‘kan, Lit?”
Belum
sempat Lita menjawab, Abi, temanku yang sudah kukenal dari SD sama seperti Lisa
dan Lita, datang menghampiriku. “Hei, Rif! Jadi ke kan...”
Perkataan
Abi terputus saat melihat Lisa dan Lita. “Tunggu, sebentar. Kalian ini Lisa dan
Lita? Temanku dan Arief waktu SD itu?”
“Iya.
Kau ini siapa?” tanya Lita padanya.
“Aku
Abi, Lit. Masa’ kau lupa?”
“Astaga!
Kau Abi? Kami lupa. Padahal, kita belum lama ini bertemu, bukan?” kata Lisa.
“Tak
apa. Mungkin, kalian pelupa? Hahaha..”
“Sudah..
Sudah.. Cukup nostalgianya. Kau mau ikut kami ke kantin ‘kan?” ajakku pada Abi.
“So, pastilah! Ayo!”
Aku,
Abi, Lisa, dan Lita pergi meninggalkan taman menuju kantin. Aku, yang berjalan
di samping kanan Lisa, dan Abi, yang berjalan di samping kiri Lita, terlalu
asyik untuk memperhatikan sekitar. Masing-masing larut dalam obrolan.
Menyiratkan kerinduan yang tak tertahan di antara kami.
Aku
tak tahu apa yang Lita dan Abi bicarakan. Aku terlalu sibuk mendengarkan
celotehan Lisa.
“Rif,
jujur ya? Aku kangen masa-masa seperti ini,” kata Lisa padaku.
“Maksudmu?”
“Iya.
Ngobrol, cerita tentang
masing-masing, pokoknya seperti ini. Terutama denganmu.”
Hening
sesaat melanda hatiku. Serasa, jantung ini hampir berhenti berdenyut.
Mungkinkah ini?
“Tunggu
dulu. Aku masih bingung untuk yang satu itu,” tanyaku penasaran.
“Iya,
Rif. Aku masih ingat saat kau nembak
aku dulu. Hal pertama yang terlintas di pikiranku saat itu, mengapa seorang
seperti kau, suka padaku. Padahal, masih banyak wanita yang bisa kau pilih. Dan
asal kau tahu saja, dulu, aku dan Lita memperebutkan kau. Tapi, ternyata kau
lebih memilih aku.”
Aku
masih terdiam mendengar penjelasan panjang lebar yang Lisa katakan padaku.
Masih tak percaya tentang apa yang kudengar baru saja.
“Aku
juga masih ingat saat kita ikut Persami, acara berkemah itu. Kita sering jalan
bersama. Itupun tanpa sepengetahuan teman yang lain. Ingat ‘kan?” tanya Lisa
padaku.
“Iya,
Lis. Dulu pun, waktu kita sudah berpisah sekolah, aku sering memikirkan
masa-masa itu. Aku merindukan kejadian waktu itu. Tapi, sekarang aku sudah bisa
merasakan hal itu lagi. Lebih malah, dengan pacarku sekarang. Pun kita tidak
berpacaran lagi, kita sekarang masih bisa seperti itu lagi, bukan?” ucapku
panjang lebar.
“But, I wanna feel like that again. I mean,
aku mau kita seperti dulu. Jadi pacar kau lagi.”
Jantungku
lebih berdenyut kencang. Perasaan yang lebih mendebarkan daripada saat aku
menyatakan cinta pada Siska. Memang, aku sering berharap dan memimpikan Lisa
untuk jadi pacarku lagi, pacar yang sebenarnya. Namun, aku sudah ada yang
punya. Apakah aku harus memilih Lisa ketimbang Siska?
“Are you kidding? You’re not serious, right?
Masih banyak lelaki lain yang mau padamu, Lis. Lagipula, kau tahu ‘kan? Aku
sudah beritahu bahwa aku sudah punya pacar.”
“Aku
tahu, Rif. It’s impossible. Mulutku
terlalu nekat tadi. Maafkan aku ya?” ucap Lisa penuh dengan kesedihan dan penyesalan.
Hal itu tampak dari matanya yang berkaca-kaca.
“Tak
apa. Perasaan hati memang seperti itu. Jika ditahan, kau akan merasa terbebani.
Tapi, kalau sudah dikeluarkan, kau sudah bisa menghilangkan beban itu sedikit
demi sedikit. Setidaknya, kau tidak penasaran lagi ‘kan?” kataku menghibur
Lisa.
Kuraih
kedua tangannya, lalu kegenggam erat. Kemudian, kukatakan, “Kamu memang tak
jadi pacarku. Tapi, kau adalah orang yang pertama kali mengajarkanku tentang
cinta. Kita masih bisa menjadi teman, Lis. Percayalah.”
Dia
memelukku sambil menangis di dekapan pelukanku. Tak kusangka, dia juga bisa
menangis. Seorang wanita tangguh yang lemah dan sensitif pada perasaannya,
itulah kau Lisa..
BERSAMBUNG...
Komentar
Posting Komentar