Buat refresh nih blog dan pikiran gue. Cerita bersambungnya gue pending dulu sejenak. Sedikit berbumbu klasik, tapi little bit true I think~
CINTA
KARENA TERBIASA
“Gue gak tau ke depannya gimana. Kenapa
kita kayak gini? Atau emang kita emang gak yakin akan diri masing-masing?
Perasaan gue, kita ini udah lebih dari dua tahun kayak gini. Jalan bareng,
ngobrol bareng, susah-seneng bareng. Orang nganggep kita ini temen. Malahan
orang yang gak kenal kita, nganggep kita ini pacaran. Jujur. Gue bingung.”
“Ardi!
Ardi! Makan dulu! Dari pulang sekolah, kamu belum makan lho!”
Teriakan
tadi membuat Ardi kaget dan sejenak melupakan tulisannya. “Iya, Ma!”
“Di,
si Mira gak ke sini? Biasanya, jam segini kalian berdua lagi asyik-asyiknya
ngerjain PR? Ke mana dia?”
“Aku
rasa dia lagi les.”
“Les?
Baru tau mama. Les di mana?”
“Di
GO, tadi sih dia bilang bareng temen smp berangkatnya.”
“Ya
sudah. Lebih baik, kamu makan aja dulu.”
Ardi
pria unik. Bahkan, langka untuk seorang pria melakukannya. Dia terbiasa menulis
buku harian. Sudah lebih dari tiga buku ia habiskan untuk menulis isi hatinya.
Di sekolah, ia pun aktif bersosialisasi dengan banyak orang. Gurunya pun senang
dan bangga dengan prestasinya. Orang tua mendukung segala aktivitas yang dia
lakukan.
Tapi,
dia punya satu kekurangan. Dia sulit punya pasangan, dalam hal ini, pacar. Dia
belum pernah pacaran. Dia iri melihat setiap temannya, satu per satu, punya
pacar.
Namun,
dia punya “geng” yang setiap saat menemaninya. Ahmed, Ikhsan, Tita, Lia, Siti,
dan Mira selalu berada dalam satu kelompok dengan Ardi.
Setelah
makan, Ardi kembali memulai tulisannya di buku harian.
“Lagi-lagi gue ngeliat lo ngelakuin hal
yang sama. Gue cemburu pas lo deket sama Andi. Apalagi tadi pagi, lo curhat ke
gue tentang dia. Gue ikut seneng kalo lo seneng apalagi kalo lo bisa nemuin
cinta sejati lo. Tapi, untuk kesekian kalinya, gue gak bisa ngelak kalo gue
sayang sama lo.”
“Lega
gue,” kata Ardi dalam hati. Tak lama setelah itu, ia melihat handphone-nya
berdering. Itu nada SMS.
“Dari
Mira? Kenapa dia?” tanyanya dalam hati.
Mira:
“Di, si Andi nembak gue! Gue jawab apa nih? Terima apa
gak?”
Ardi:
“Ya mana gue tau! Perasaan lo gimana ke
dia? Emangnya kapan dia nembak lo?”
Mira:
“Tadi pagi pas dia ngajak ngobrol gue.
Lo liat kan tadi? Perasaan gue ke dia sih, sama kayak dia. Tapi gue gak yakin.”
Ardi:
“Gak yakin kenapa?”
Mira:
“Kayaknya dia itu playboy. Tapi, gue
juga kasian sama dia. Dari smp, dia ngejar-ngejar gue.”
Ardi:
“Kalo misalnya lo cinta dia cuma karena
kasian, cinta lo sia-sia, Mir! Ngapain lo perjuangin cinta yang kayak gitu?
But, it’s up to you sih.”
Malam
makin larut. Ardi sebentar lagi akan tidur. Di tempat lain, Mira masih bingung
akan kepastiannya menerima Andi. Dua sahabat ini galau dengan urusannya
masing-masing.
Sebelum
tidur, Ardi berdoa pada Tuhan. Begini doanya, “Tuhan, jadikanlah orang-orang terdekatku terutama sahabatku senang
akan hal yang berhasil ia dapatkan. Tuntunlah mereka dalam kasih-Mu agar dia
dapat memilih apa yang terbaik buat dirinya. Amin.”
***
“Weh,
Di! Udah tau kabar yang baru gak?” tanya Ikhsan sambil mengejutkan Ardi yang
sedang melamun pagi itu.
“Kabar
apaan?”
“Si
Mira udah jadian sama Andi! Hebat ya si Andi? Cuma dalam waktu seminggu, dia
bisa deketin dan akhirnya jadian sama Mira!”
“Tapi
kan si Andi dari smp udah ngejar-ngejar Mira, San,” kata Ardi seperti tak
terima Andi dan Mira jadian.
“Dari
mana lo tau?”
“Ada
deh! Pokoknya, gue tau aja.”
Jam
istirahat tiba. Semua murid ada di luar kelas kecuali Ardi, Mira, Andi, dan
Ahmed.
“Akhirnya, hal yang selama ini gue gak
mau alamin terjadi. Lo sekarang udah ada yang punya. Sebagai sahabat, gue
seneng akan hal ini. Apalagi, cowo lu udah dapet apa yang dia idam-idamkan.
Tapi, di sisi lain, gue patah hati. Gue yang biasa nyemangatin lo dan nemenin
lo ke mana aja, sekarang udah tergantikan sama cowo lo yang baru. Gue harap,
lo....”
“Woy!
Nulis apaan lo?!” teriak Ahmed mengagetkan Ardi yang ternyata dari tadi sudah
ada di belakangnya.
“Kagak!
Bukan urusan lo!”
“Weh,
Mir! Lo liat sini deh! Kayaknya, si Ardi nulis sesuatu tentang lo!”
“Mana?
Sini gue liat!” seru Mira pada Ardi.
Beberapa
menit, Mira membaca tulisan-tulisan Ardi di buku itu. Matanya terbelalak setiap
kali membuka satu per satu halamannya.
“Jadi
lo, Di? Ini bener?” tanya Mira pada Ardi.
“Bener,
Mir. Ini buku harian gue. Tiap hari, kegiatan dan perasaan gue selalu gue tulis
di sini. Termasuk kenangan gue sama lo.”
“Weh!
Apa-apaan ini?! Jadi lo selama ini suka sama Mira?!” teriak Andi pada Ardi
sambil hendak mengepalkan tangannya memukul Ardi.
“Andi!
Sudah! Ayo kita pergi! Gue butuh ketenangan,” kata Mira mengajak Andi keluar
kelas.
“Sabar,
Di. Ntar si Mira juga bakalan sadar,” kata Ahmed menghibur.
“Semua
gara-gara lo tau gak?! Coba kalo lo gak kayak tadi! Semuanya gak akan kayak
gini!” kekesalan Ardi meluap pada Ahmed.
“Weh!
Sabar, Di! Gue tuh sebenernya berniat baik sama lo. Gue tuh udah lama duga kalo
lo sayang sama Mira. Gak Cuma gue, Ikhsan, Lia, Tita, bahkan Mira juga udah
lama tau hal itu.”
“Hah?!
Maksud lo? Tapi, kenapa dia pergi ninggalin gue?!”
“Gini,
Di. Sebenernya lagi, gue sama yang lain udah lama pengen nyomblangin lo sama
Mira tapi gak pernah kesampean. Nah, karena gue rasa tadi kesempatannya pas,
yaudah deh. Lagian juga, si Mira pernah bilang sama gue kalo dia juga pengen
jadian sama lo.”
“Tau
dari mana lagi lo?”
“Waktu
itu gue iseng nanya ke dia kenapa lo berdua kayak deket banget, lebih deket
dari temen malah.”
“Terus?”
“Dan
dia bilang dia gak nyaman sama situasi ini. Bertemen tapi akrabnya udah tau
luar-dalem. Dia pengen banget ditembak lo. Dan dia cerita cowo lain ke lo tuh,
karena dia pengen mancing lo supaya lo segera nembak dia.”
Ardi
yang dari tadi terlihat emosi, kini sudah tampak lebih tenang sejak mendengar
perkataan Ahmed tadi. Dia kini bingung. Benar-benar bingung. Dia harus senang,
takut, khawatir, atau apa?
Pelajaran
ketiga dimulai. Begitu juga dengan Mira yang sudah masuk ke kelas dengan Andi.
Namun, nampaknya mereka berdua tidak mesra lagi.
Tak
terasa, waktu pulang sekolah tiba. Ardi mengemasi buku-bukunya dan bersiap
pulang. Ketika melangkahkan kaki ke luar kelas, dia ditarik Mira. “Tunggu
bentar. Ada yang pengen gue bicarain.”
“Apaan,
Mir? Lo mau marahin gue? Gue ikhlas, gak apa-apa. Salah gue, maafin ya?”
“Ngapain
lo minta maaf, Di? Justru gue yang harus bilang maaf ke lo karena udah
ngecewain lo.”
“Maksud
lo?”
“Iya.
Selama ini gue juga nyimpen perasaan yang sama kayak lo. Gue juga greget kenapa
lo gak nembak-nembak gue.”
“Tapi,
kan percuma kalo gue sekarang nembak lo, Mir. Lo kan udah ada yang punya.”
“Gak
lagi. Gue udah tau ulah dia. Feeling gue bener. Dia playboy, Di.”
Ahmed,
Ikhsan, dan Lita tiba-tiba sudah mengerumuni mereka. “Hahaha.. Gimana, Di? Mau
nembak Mira gak sekarang?” kata Ikhsan memanasi mereka berdua.
“Betul
tuh! Mumpung sepi nih! Saksinya cuma kita bertiga ini,” kata Ahmed pada Adi.
“Selow
kali! Gue butuh momen yang pas nih!” kata Ardi pada mereka semua. Mendengar
itu, Mira tambah malu dibuatnya.
“Apa
lo harus nulis di buku harian lo dulu, Di? Hahaha!” canda Lita menambah ramai
suasana.
“Sssttt!
Berisik lo pada!” kata Ardi menenangkan mereka. Kemudian, tangan Ardi
menggenggam tangan Mira dan dia berkata, “Mir, udah sekian lama gue nunggu ini.
Kita udah sahabatan sejak lama. Kita susah-seneng bareng.”
Lalu,
Ardi berlutut di depan Mira. “Mir, gue rasa lo dan gue pengen hubungan yang
lebih dari temen atau sahabat sekalipun. Kita pengen pacaran kan? Jadi, apa lo
mau nerima gue?”
“Nerima
lo jadi apa?” tanya Mira.
“Jadi
pacar lo. Maukah kamu jadi pacarku?”
Kemudian,
Ardi mencium tangan Mira. Ardi berdiri, dan Mira pun berkata, “Ya. Gue mau,
maksudnya, aku mau jadi pacarmu.”
***
“Akhirnya, harinya dateng juga. Makasih
sahabat, udah dukung dan nyemangatin gue jadi lebih berani. Setelah nunggu
berhari-hari, gue bisa lebih deket lagi sama lo. Lebih dari sahabat, yaitu
pacar. Kita ntarnya bisa bilang, ‘Lo cemburu ya’ tanpa harus bilang, ‘Emang gue
siapanya lo?’
Emang bener kata orang, ‘Sahabat bisa
jadi cinta.’ Dan itu udah terbukti pada kita. Gue harap, cinta kita bisa abadi
seabadi pertemanan kita selama ini. Gue harap juga, pacaran gak ngubah diri
kita masing-masing. Makasih buat lo, dear. ~MIRA~”
~TAMAT~
Komentar
Posting Komentar