Setelah sekian lama gue gak ngeposting sesuatu di sini, akhirnya gue mengisinya lagi dengan lanjutan cerpen gue ini. Mungkin blog ini udah gak menarik lagi, tapi gak apa-apalah. It's just for sharing my feels and hobby, right?
Selamat membaca, dan maafin kalo udah ngaco ceritanya~
Chapter 6: Merapikan Nestapa (2nd
Part)
“Sudahlah.
Ayo kita susul Lita dan Abi ke kantin! Yang terpenting, kau sudah merasa lebih
lega ‘kan?” kataku menenangkan Lisa.
“Iya,
Rif. Makasih.”
Kami
pun beranjak pergi dari situ. Namun, tak sempat kami beranjak berjalan,
tiba-tiba ada yang memanggil nama Lisa. “Lisa! Lisa! Tunggu dulu!” Suara
tersebut datang dari seorang pria berbadan tegap dan mempunyai tinggi badan
lebih dari diriku.
“Itu
siapa, Lis?
“Kurasa
Aga. Tapi, kenapa dia bisa tahu kalau aku kuliah di sini?”
Pria
itu mendekati kami. Tampaknya, dia kelelahan mengejar kami. “Akhirnya, aku
berhasil menemukanmu, Lis,” ucapnya kemudian menenggak sebotol air mineral yang
ada di tangannya.
“Mana
Lita? Aku ke sini ingin bertemu dengannya. Dan, siapa dia? Pacar barumu?” kata
pria itu sambil menunjuk ke arahku.
“Tunggu
dulu deh. Pelan-pelan. Pertama, dari mana kau tahu aku kuliah di sini? Kedua,
ada urusan apa kau dengan Lita? Dan, aku tegaskan, dia ini bukan pacarku. Ini
temanku, bahkan teman lama kita. Ini Arief,” jelas Lisa pada orang itu. “Rif,
ini Aga. Dan, ini Arief, Ga.” Lisa memperkenalkan aku dengan Aga. Aga masih
terlihat kelelahan.
“Arief,”
ucapku seraya ingin menjabat tangannya. “Bagaima..” Perkataanku dipotong oleh
Aga.
“Nanti
saja perkenalannya! Arief ‘kan? Aku sudah tahu!” ucap Aga dengan suara
tersengal-sengal karena masih terlalu lelah. Lalu, Aga berkata pada Lisa,” Lis,
mana saudaramu? Si Lita? Ada sesuatu yang harus aku sampaikan padanya.”
“Baiklah,
Lita ada di kantin bersama Abi. Memangnya, sepenting apakah urusanmu itu, Ga?”
“Makasih
infonya. Aku pergi dulu.”
Aga
pergi meninggalkan kami dengan tergesa-gesa menuju kantin. “Ada apa sih, Lis?
Aga seperti dikejar setan saja,” kataku yang bingung pada Lisa.
“Aku
juga tak tahu, Rif. Mungkin karena hubungan mereka,” kata Lisa menjelaskan.
Kami pun sambil berjalan ke kantin, memperbincangkan kedatangan Aga tadi.
Lisa
melanjutkan, “Sewaktu di bis tadi, aku sudah bilang padamu ‘kan? Dia baru
putus. Entalah penyebabnya.”
“Lalu?”
“Kemungkinan
besar, mereka berdua masih punya urusan yang belum selesai.”
Aku
makin penasaran dibuatnya. Kurasa, aku sudah tertinggal banyak informasi selama
ini. Apalagi, aku sudah lama tak bertemu dengan mereka.
“Nah,
kita sudah sampai di kantin! Gimana? Bagus? Hahaha..”
“Biasa
saja. Memangnya aku norak apa? Hahaha..”
Kemudian,
mataku tertuju pada satu titik di kantin itu. Pojok kantin dengan Lita dan Abi
berada di dekatnya. Di belakangnya, ada Aga. Sepertinya, Aga sedang mengawasi
mereka berdua.
“Hey,
Lis! Lihat deh! Si Aga kenapa ada di belakang mereka berdua ya?”
“Entahlah.
Lebih baik kita ke sana. Ayo!”
Sambil
berjalan ke arah mereka, aku perhatikan gerak-gerik Aga. Sepertinya, dia
berusaha menutupi keberadaannya. Dari arah belakang Aga, aku panggil Lita dan
Abi. “Lita! Abi!”
Mereka
berdua menengok ke belakang. “Hai, Rif!” Teriakan Abi itu membuat Aga terkejut.
Lita, yang ikut menengok pun, curiga dan segera mendekati meja tempat Aga.
“Gimana
kantinnya? Bagus ‘kan? Hahaha..” Aku mencoba mengajak Lita bicara yang lain
setelah mendekati meja Aga ini.
“Udah
pesen apa nih? Banyak makanan enak lho di sini! Aku pesankan, ya? Mau apa saja
kali...”
Omonganku
terputus. Lisa menghelaku. Abi pun mengisyaratkanku agar diam dulu. Lalu, aku
melihat Lita dan Aga saling berpandangan. Entah apa yang mereka berdua
pikirkan. Tetap intens dalam suasana itu, aku mengajak Lisa dan Abi menjauh
dari tempat itu.
“Ayo
kita pergi! Seems like, this is not our place,” ujarku pada Lisa dan Abi.
17.00
di dalam perjalanan pulang..
Hari
pertama di semester dua ini menjadi salah satu hari yang terlelah kurasa.
Bertemu dengan teman-teman lama, mendengar curhatan seorang mantan, melihat
adegan mesra, dan masih banyak hal lain yang tak bisa kuungkapkan.
Untunglah
Abi memperbolehkan aku menumpang mobilnya. “Bi, tapi aku boleh ajak Lisa sama
Lita juga gak? Sekalian bahas obrolan Lita sama Aga tadi siang? Boleh gak?”
tanyaku pada Abi.
“Boleh
saja. Aku juga lagi kepo dengan urusan mereka berdua tadi di kantin.”
Jadilah
sore itu, aku, Lisa, dan Lita menumpang mobil Abi. Lita duduk di samping Abi
yang menyetir. Lisa dan aku duduk berdampingan di bagian tengah mobil.
Lima
belas menit beranjak dari kampus, jalanan sudah macet. Kukira memang karena
sudah sore. Iseng, kutanya Lita tentang obrolannya dengan Aga tadi siang di
kantin.
“Lit,
tadi siang kamu jadian lagi sama Aga, ya? Hahaha..”
“Benar
‘kan kata Arief, Lit? Bagus deh, dari pada kamu jomblo,” tambah Abi dan diikuti
tawa kami semua yang ada di mobil itu, kecuali Lita sendiri.
“Sudah
mengejeknya? Siapa bilang aku jadian sama Aga, hah?! Memang, aku masih cinta
sama dia tapi aku...”
Saat
itulah, air mata Lita mengalir. Suasana pun jadi tidak menyenangkan lagi.
Lita
kemudian melanjutkan perkataannya tadi, “Jujur, belum banyak orang yang tahu
tentang hal ini. Hanya internal keluragaku saja.”
Lisa
tanpa sadar juga mengalihkan kepalanya pada pundakku. Tangisnya membuat bajuku
lebih basah lagi.
“Aku
tak mau jadian lagi dengan Aga dan tak akan memaafkannya lagi, karena...”
“Karena
apa, Lit?” tanya Abi sembari memegang tangan Lita.
“Karena
dia tak mau tanggung jawab! Sudah dua tahun dia meninggalkanku dengan keadaan
aku hamil! Aku terpaksa melahirkan anakku dan dia. Aku malu! Semua orang yang
ke rumahku akan menanyakan anak itu!”
Tangisan
Lita sekarang ditambah dengan emosinya yang tampak sangat marah pada Aga.
“Orang-orang
sekitar, teman, guru, semuanya menjauhiku! Kedua orang tuaku berusaha menutupi
semuanya ini dengan mengatakan bahwa anak itu adalah adik sepupuku. Tapi,
banyak yang tidak percaya!”
“Dan
selama itu, Aga menghilang! Tatapan aku tadi siang ke dia adalah tatapan semu
belaka! Aku sebenarnya benci padanya, sangat benci bahkan!”
“Apa
dengan masuk Teologi dia bisa langsung suci? Tidak! Dan kalau dia baru minta
maaf sekarang, ke mana saja dia?!”
***
10 Januari 2015, di pemberkatan pernikahan..
Memang,
cinta berawal karena sudah biasa bertemu. Lita, semenjak kejadian itu pun,
semakin sering curhat pada Abi. Dan tampaknya, benih-benih cinta datang pada
mereka berdua. Umur yang masih muda, tak menghambat Abi untuk menikahi Lita
hari ini.
“Gabriel
Hendriatmo, apakah kau bersedia menerima Lita Agustina sebagai pasanganmu
sehidup semati?” tanya Pendeta itu pada Abi.
“Ya,
saya bersedia.”
“Lita
Agustina, apakah kau bersedia menerima Gabriel Hendriatmo sebagai suamimu dan
menerimanya dalam segala kekurangannya?”
“Ya,
saya bersedia,” ucap Lita tegas.
Semua
orang yang hadir di situ tampak bahagia. Termasuk aku dan Lisa, sebagai teman
mereka. Kurasa, Aga pun ikut merestui hubungan mereka berdua. Ya, Lita sudah
mengabari Aga bahwa ia akan menikah dengan Abi. Dan di saat itulah, Lita
memaafkan Aga seutuhnya. Itulah Lita. Tetap setia pada sifat feminim yang lemah
namun sarat makna mendalam.
Komentar
Posting Komentar